Apakah Moral Itu Relatif?
Dalam dunia yang semakin plural dan modern, kita sering mendengar ungkapan seperti, “Kebenaran itu relatif” atau “Apa yang benar bagimu belum tentu benar bagiku.” Pandangan ini dikenal sebagai relativisme moral, yaitu keyakinan bahwa tidak ada standar moral yang absolut karena nilai-nilai moral bergantung pada budaya, pengalaman, atau preferensi individu. Namun, apakah moral benar-benar relatif? Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa ada standar moral yang benar dan universal?
1. Relativisme Moral: Definisi dan Dampaknya
Relativisme moral berpendapat bahwa tidak ada standar moral yang universal. Akibatnya, setiap orang atau masyarakat berhak menentukan apa yang baik dan buruk menurut mereka sendiri. Konsekuensi dari pandangan ini bisa sangat berbahaya karena:
- Menghapus konsep kebenaran objektif, sehingga kejahatan pun bisa dibenarkan dalam konteks tertentu.
- Melemahkan dasar etika dan keadilan, karena tidak ada standar moral yang dapat dijadikan rujukan bersama.
- Menyebabkan kebingungan moral dan ketidakpastian dalam masyarakat.
Namun, menariknya, tidak ada penganut relativisme moral yang benar-benar absolut. Hampir semua orang mengecam tindakan seperti pembunuhan, pencurian, dan penindasan karena dampaknya yang jelas terhadap orang lain. Namun, dalam kasus tertentu seperti seks bebas, LGBT, aborsi, masturbasi, dan pornografi, relativisme moral sering kali digunakan sebagai pembenaran, seolah-olah moralitas hanya berlaku ketika menyangkut kejahatan fisik yang nyata. Ini adalah kontradiksi dalam relativisme itu sendiri.
2. Mengapa Moralitas Harus Bersifat Objektif?
Jika moralitas benar-benar relatif, maka tidak ada dasar untuk mengecam tindakan seperti pembunuhan, pencurian, atau penindasan, karena setiap individu atau budaya dapat menganggapnya sebagai hal yang sah. Namun, dalam realitasnya, kita semua secara intuitif memahami bahwa ada tindakan yang benar-benar salah, apa pun konteksnya. Misalnya:
- Pembunuhan orang tak bersalah selalu dipandang salah, tidak peduli di mana atau kapan itu terjadi.
- Kejujuran dan keadilan selalu dipandang baik dan diinginkan dalam semua budaya.
Kesadaran ini menunjukkan bahwa ada hukum moral yang bersifat objektif dan tertanam dalam diri manusia. Ini bukan sekadar hasil kesepakatan sosial, melainkan berasal dari prinsip yang lebih tinggi, yang dapat dikenali oleh akal budi dan didukung oleh filsafat serta wahyu ilahi.
3. Sumber Kebenaran Moral yang Objektif
Kebenaran moral yang objektif bukanlah hasil dari opini mayoritas, tetapi berasal dari realitas yang lebih mendalam:
- Hukum Alam: Hukum moral bersumber dari kodrat manusia dan dapat diketahui melalui akal budi. Filsuf seperti Aristoteles dan St. Thomas Aquinas menjelaskan bahwa manusia memiliki kecenderungan alami untuk mencari kebaikan dan menghindari kejahatan.
- Konsistensi Logis: Jika kita menolak adanya kebenaran moral yang objektif, maka semua klaim moral menjadi tidak berarti. Bahkan pernyataan “moral itu relatif” adalah klaim absolut yang bertentangan dengan dirinya sendiri.
- Wahyu Ilahi: Dalam sejarah, berbagai tradisi keagamaan telah mengakui adanya hukum moral yang diberikan oleh Pencipta. Dalam Kekristenan, misalnya, Sepuluh Perintah Allah memberikan dasar moral yang tak berubah dan telah menjadi fondasi bagi banyak sistem hukum modern.
4. Menjawab Argumen Relativisme Moral
a. “Moral itu tergantung budaya.”
Memang ada perbedaan dalam kebiasaan dan hukum di berbagai budaya, tetapi ini tidak berarti moralitas itu relatif. Sebagai contoh, hampir semua budaya setuju bahwa membunuh orang tak bersalah itu salah. Ini menunjukkan adanya hukum moral yang berlaku universal.
b. “Tidak ada yang bisa memaksakan moralitas kepada orang lain.”
Jika semua moralitas subjektif, maka kita tidak bisa mengecam tindakan seperti penindasan, kekerasan, atau ketidakadilan. Padahal, kita tahu bahwa ada tindakan yang secara objektif salah.
c. “Setiap orang berhak atas pendapatnya sendiri.”
Benar, tetapi tidak semua pendapat itu benar. Misalnya, jika seseorang berkata bahwa dua tambah dua sama dengan lima, kita tahu itu keliru. Demikian juga dalam hal moral, ada kebenaran objektif yang bisa kita ketahui.
5. Kasus Seks Bebas, Masturbasi, Pornografi, LGBT, dan Aborsi dalam Relativisme Moral
Relativisme moral sering digunakan untuk membenarkan praktik seperti seks bebas, masturbasi, pornografi, LGBT, dan aborsi. Namun, jika kita menilai berdasarkan kebenaran objektif:
Seks bebas merusak makna sejati dari hubungan manusia dan mereduksi pasangan menjadi objek kesenangan semata, tanpa tanggung jawab dan komitmen. Ini juga berkontribusi pada meningkatnya angka perceraian, keluarga yang tidak stabil, dan masalah kesehatan mental.
Masturbasi dan pornografi menciptakan ketergantungan yang merusak kapasitas seseorang untuk membangun hubungan yang sehat dan penuh kasih. Selain itu, pornografi juga mengeksploitasi manusia dan merusak martabat mereka, serta berkontribusi pada meningkatnya kasus kekerasan seksual dan objektifikasi manusia.
LGBT sering dipandang sebagai ekspresi kebebasan, tetapi jika kita mengacu pada kodrat manusia, kita melihat bahwa desain tubuh manusia memiliki tujuan tertentu yang jelas dalam hubungan antara pria dan wanita. Dari segi sosial, normalisasi perilaku LGBT sering dikaitkan dengan meningkatnya disforia gender, gangguan mental, dan ketidakstabilan keluarga.
Aborsi sering diklaim sebagai hak, tetapi secara objektif, ini adalah tindakan penghancuran kehidupan manusia yang tak bersalah. Secara sosial, aborsi juga telah menyebabkan penurunan angka kelahiran, krisis demografi, serta trauma psikologis bagi para ibu yang melakukannya.
Dalam semua kasus ini, relativisme moral berusaha membenarkan apa yang secara kodrati salah, dengan mengabaikan konsekuensi jangka panjang baik secara fisik, emosional, maupun spiritual.
6. Mengapa Kebenaran Moral Itu Penting?
Tanpa kebenaran moral yang objektif:
- Masyarakat akan kehilangan arah dan keadilan akan menjadi relatif.
- Orang akan sulit membedakan antara baik dan jahat.
- Kasih dan kebebasan sejati menjadi terdistorsi, karena tanpa kebenaran, kebebasan menjadi sekadar mengikuti keinginan sendiri.
Sebaliknya, dengan menerima kebenaran moral yang objektif, kita dapat hidup dalam harmoni dengan hukum yang tertanam dalam hati nurani kita dan membangun masyarakat yang lebih adil dan bermartabat.
Kesimpulan
Relativisme moral mungkin tampak menarik karena menawarkan kebebasan tanpa batas, tetapi pada akhirnya, ia membawa lebih banyak kebingungan dan ketidakadilan. Kebenaran moral bukanlah hasil dari kesepakatan sosial atau preferensi individu, melainkan sesuatu yang dapat kita temukan melalui akal budi dan hukum yang telah ditanamkan dalam hati manusia oleh Pencipta.
Sebagaimana Yesus berkata, “Kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yohanes 8:32). Mari kita berani membela kebenaran moral di dunia yang semakin terjebak dalam relativisme.